Dalam era global yang terjadi waktu ini, profesi
kedokteran merupakan salah satu profesi yang mendapatkan sorotan masyarakat.
Masyarakat banyak yang menyoroti profesi dokter, baik sorotan yang disampaikan
secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai induk organisasi para dokter, maupun yang
disiarkan melalui media cetak maupun media elektronik. Ikatan Dokter Indonesia
menganggap sorotan-sorotan tersebut sebagai suatu kritik yang baik terhadap
profesi kedokteran, agar para dokter dapat meningkatkan pelayanan profesi
kedokterannya terhadap masyarakat. Ikatan Dokter Indonesia menyadari bahwa
kritik yang muncul tersebut merupakan “puncak suatu gunung es”, artinya masih
banyak kritik yang tidak muncul ke pemukaan karena keengganan pasien atau
keluarganya menganggap apa yang dialaminya tersebut merupakan sesuatu yang
wajar. Bagi Ikatan Dokter Indonesia, banyaknya sorotan masyarakat terhadap
profesi dokter menggambarkan bahwa masyarakat belum puas dengan pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh para dokter. Pada umumnya ketidakpuasan para pasien dan keluarga pasien terhadap
pelayanan dokter karena harapannya yang tidak dapat dipenuhi oleh para dokter,
atau dengan kata lain terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang
didapatkan oleh pasien. Memperoleh
pelayanan kesehatan adalah hak asasi setiap manusia. Penyelenggaraan upaya
kesehatan dilakukan secara serasi dan seimbang oleh pemerintah dan masyarakat
termasuk swasta. Agar penyelenggaraan upaya kesehatan itu berhasil guna dan
berdaya guna, maka pemerintah perlu mengatur, membina dan mengawasi baik
upayanya maupun sumber dayanya. Kedudukan dan peran
dokter tetap dihormati, tetapi tidak lagi disertai unsur pemujaan. Dari dokter
dituntut suatu kecakapan ilmiah tanpa melupakan segi seni dan artistiknya. Kesenjangan yang besar antara harapan pasien dengan
kenyataan yang diperolehnya menyusul dilakukannya merupakan predisposing faktor.
Kebanyakan orang kurang dapat memahami bahwa sebenarnya masih banyak faktor
lain di luar kekuasaan dokter yang dapat mempengaruhi hasil upaya medis.
Bentuk profesionalisme profesi
Dokter:
Ø
Pola Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien telah terjadi sejak dahulu,
dokter sebagai seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang
membutuhkannya. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena
didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter. Hubungan hukum antara
dokter dengan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik
seperti antara bapak dengan anak. Dalam hubungan ini kedudukan dokter dengan
pasien tidak sederajat, yaitu kedudukan dokter lebih tinggi daripada pasien
karena dokter dianggap mengetahui tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan penyakit dan penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang
hal itu sehingga pasien menyerahkan nasibnya sepenuhnya di tangan dokter.
Hubungan hukum timbul bila pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada
sesuatu yang dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya
memberikan peringatan bahwa ia merasa sakit, dan dalam hal ini dokterlah yang
dianggapnya mampu menolongnya, dan memberikan bantuan pertolongan. Sebaliknya,
dokter berdasarkan prinsip “father knows best” dalam hubungan
paternatistik ini akan mengupayakan untuk bertindak sebagai ‘bapak yang baik’,
yang secara cermat, hati-hati untuk menyembuhkan pasien. Dalam mengupayakan kesembuhan
pasien ini, dokter dibekali oleh Lafal Sumpah dan Kode Etik Kedokteran
Indonesia. Pola hubungan vertikal yang melahirkan sifat paternalistik dokter
terhadap pasien ini mengandung baik dampak positif maupun dampak negatif.
Dampak positif pola vertikal yang melahirkan konsep hubungan paternalistik ini
sangat membantu pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya
dapat juga timbul dampak negatif, apabila tindakan dokter yang berupa
langkah-langkah dalam mengupayakan penyembuhan pasien itu merupakan
tindakan-tindakan dokter yang membatasi otonomi pasien, yang dalam sejarah
perkembangan budaya dan hak-hak dasar manusia telah ada sejak lahirnya.
Hubungan hukum ini tidak menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau kematian), karena
obyek dari hubungan hukum itu berupa upaya dokter berdasarkan ilmu pengetahuan
dan pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien.
Ø
Saat
Terjadinya Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien
Hubungan
hukum kontraktual yang terjadi antara pasien dan dokter tidak dimulai dari saat
pasien memasuki tempat praktek dokter sebagaimana yang diduga banyak orang,
tetapi justru sejak dokter menyatakan
kesediaannya yang dinyatakan secara lisan dengan menunjukkan sikap atau tindakan yang menyimpulkan kesediaan;
seperti misalnya menerima pendaftaran, memberikan nomor urut, menyediakan serta
mencatat rekam medisnya dan sebagainya. Dengan kata lain hubungan terapeutik
juga memerlukan kesediaan dokter.
Ø Sahnya Transaksi Terapeutik
Mengenai
syarat sahnya transaksi terapeutik didasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan 4
(empat) syarat sebagai berikut:
·
Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya
·
Kecakapan
untuk membuat perikatan
·
Suatu
hal tertentu
·
Suatu sebab
yang sah
Ø Informed consent
Persetujuan tindakan medis (informed
consent) mencakup tentang informasi dan persetujuan, yaitu persetujuan yang
diberikan setelah yang bersangkutan mendapat informasi terlebih dahulu atau
dapat disebut sebagai persetujuan berdasarkan informasi. Pada
hakekatnya, hubungan antar manusia tidak dapat terjadi tanpa melalui
komunikasi, termasuk juga hubungan antara dokter dan pasien dalam pelayanan
medis. Oleh karena hubungan antara dokter dan pasien merupakan hubungan
interpersonal, maka adanya komunikasi atau yang lebih dikenal dengan istilah
wawancara pengobatan itu sangat penting. Bahasa kedokteran banyak menggunakan
istilah asing yang tidak dapat dimengerti oleh orang yang awam dalam
bidang kedokteran. Pemberian informasi dengan menggunakan bahasa kedokteran,
tidak akan membawa hasil apa-apa, malah akan membingungkan pasien. Oleh karena
itu seyogyanya informasi yang diberikan oleh dokter terhadap pasiennya
disampaikan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh pasien. Jadi,
pada hakekatnya informed consent adalah untuk melindungi pasien dari
segala kemungkinan tindakan medis yang tidak disetujui atau tidak diijinkan
oleh pasien tersebut, sekaligus melindungi dokter (secara hukum) terhadap
kemungkinan akibat yang tak terduga dan bersifat negative.
Tanggung Jawab Hukum
Dokter Terhadap Pasien
Tanggung Jawab Etis
Peraturan yang mengatur tanggung jawab etis dari
seorang dokter adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Lafal Sumpah Dokter.
Kode etik adalah pedoman perilaku. Kode Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan
dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan. Kode Etik Kedokteran Indonesia
disusun dengan mempertimbangkan International Code of Medical Ethics
dengan landasan idiil Pancasila dan landasan strukturil Undang-undang Dasar
1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur hubungan antar manusia yang
mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya,
kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri
sendiri.
Tanggung Jawab Hukum
Tanggung jawab
hukum dokter adalah suatu “keterikatan” dokter terhadap ketentuan-ketentuan
hukum dalam menjalankan profesinya. Tanggung jawab seorang dokter dalam
bidang hukum terbagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:
1. Tanggung jawab hukum
dokter dalam bidang hukum perdata.
2. Tanggung Jawab
Perdata Dokter Karena Perbuatan Melanggar Hukum.
3. Tanggung jawab hukum
dokter dalam bidang hukum administrasi.
0 Response to "Bentuk Profesionalisme Dalam Profesi Dokter"
Post a Comment